Minggu, 29 Mei 2011

RUNTAH KOTA BANDUNG KUDU DIPIKIRAN KU URANG BANDUNG, HAG SIAH…….. Oleh : Wawan Gunawan

Judul di atas lebih bermakna sebuah ajakan, bukan saran atau anjuran apalagi perintah. Sebab tanpa ada ungkapan seperti itu pun sangat jelas bahwa suatu persoalan yang menimpa siapapun, maka yang bersangkutanlah yang harus menyelesaikannya. Demikian pula dengan persoalan sampah yang menimbun Kota Bandung, orang Bandung sendirilah yang patut memikirkannya.

Sebagai salah seorang warga Kota Bandung yang mencari penghidupan, membuang sampah, bahkan berkeluarga dan sebagainya di Kota Bandung, sewajarnya memikirkan persoalan tersebut. Berawal dari sebuah berita yang dimuat harian Pikiran Rakyat edisi hari Kamis, tanggal 29 Mei 2011 tentang permasalahan sampah Kota Bandung dengan warga Sarimukti, maka kata demi kata pun mengalir bagai air lindi sampah Sarimukti, diwadahan jadilah tulisan. Berikut adalah buah pikiran penulis hasil dari mikir berandai-andai “sapeupeuting”.

Menurut hemat penulis problem solving sampah Kota Bandung termasuk rumit bisa juga tidak rumit sepanjang mau duduk satu meja dengan berbagai pihak dalam rangka mencari pemecahan masalah. Dianggap rumit karena persoalan sampah bukan persoalan sederhana, tetapi lebih merupakan persoalan lingkungan. Sedemikian beratnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah. Mulai dari pencemaran udara akibat bau sampah yang menyengat, pencemaran air akibat air lindi sampah yang meresap ke dalam tanah dan yang paling parah adalah terjadinya banjir di salah satu wilayah akibat sampah yang dibuang sembarangan menyumbat saluran-saluran air

Dipandang tidak rumit, karena sepanjang ada penyelesaian yang solutif terhadap sebuah permasalahan maka permasalahan tersebut bukan sesuatu yang rumit untuk diupayakan penyelesaianya. Satu hal yang mesti diyakini bahwa dibalik kesusahan selalu ada kemudahan seperti diisyarakan oleh salah satu ayat al-Qur’an melalui ayat 5 – 6 Surat al-Insyirah (94) yang artinya : “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”.

Berdasarkan asumsi sederhana kita dapat mengelompokkan sumber-sumber penyumbang sampah diantaranya :

1. Lingkungan warga (rumah tangga);

2. Pasar-pasar terutama pasar tradisional;

3. Dunia usaha, termasuk di dalamnya pabrik-pabrik,rumah makan, rumah sakit, dan sebagainya;

4. Sekolah-sekolah, lokasi-lokasi wisata, perkantoran, dan lain-lain.

Dari daftar penyumbang sampah tadi kita dapat menentukan sektor mana yang paling banyak menyumbang sampah selama ini sehingga kita juga dapat menentukan asumsi dasar sampah jenis mana persentase terbesarnya antara sampah organik, sampah an organik, dan sampah yang sama sekali tidak dapat didaur ulang. Setelah itu kita dapat menentukan teknik dan cara mana yang paling cocok diterapkan untuk setiap jenis sampah.

Secara garis besar, jenis sampah pada dasarnya hanya terbagi kepada dua jenis yaitu organik dan an organik. Teknik yang paling mungkin diterapkan untuk sampah organik adalah teknologi biodigester. Suatu teknologi yang sederhana, murah, dan sangat ramah lingkungan. Selain itu, penanganan sampah dengan teknologi biodigester dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Sampah yang difermentasi dengan biodigeter dapat menghasilkan gas metan dan slurry. Gas metan dapat dipergunakan untuk menyalakan kompor dan mesin genset pembangkit listrik, sehingga dapat disebut sebagai solusi alternatif menyelesaikan masalah kelangkaan energi. Gerakan hemat energi listrikpun tercapai, karena melalui penggunaan mesin genset paling tidak kebutuhan penerangan jalan di lingkungan warga bisa teratasi. Sedangkan slurry hasil dari fermentasi tadi dapat digunakan sebagai pupuk untuk menghijaukan wajah lingkungan.

Teknologi biodigester yaitu teknologi fermentasi sampah dalam ruang kedap udara. Sampah organik difermentasi oleh salah satu dari tiga spesies bakteri fermentatif berikut yaitu: Clostridium thermocellum, Pseudomonas fluorescens, Aktinomyces naeslundii (GP-1). Spesies bakteri tersebut mampu hidup dalam ruang kedap udara dan dalam suhu yang panas. Dengan demikian sampah yang difermentasi dalam biodigester sama sekali tidak meninggalkan endapan. Sementara untuk sampah an organik khususnya plastic, cukup digiling dengan mesin rajang kemudian dikirim ke pabrik plastik.

Kembali kepada persoalan sampah Kota Bandung. Menurut berita dari media cetak harian tadi, edisi hari Kamis 26/5, bahwa sampah Kota Bandung yang dikirim ke Sarimukti sebanyak 1000 ton perhari. Namun tidak ada informasi persentase tonase dari pilahan jenis sampah sebanyak itu. Terlepas dari masalah persentase tonase masing-masing jenis sampah, penulis mencoba membuat hitunga-hitungan perbandingan. Jumlah lingkungan RW di Kota Bandung sebanyak 1559 RW. Dari sejumlah RW tersebut, kita bisa membuat hitungan rata-rata per RW memproduksi sampah. Anggaplah jumlah sampah sebanyak itu (1000 ton perhari) sekitar 80% berasal dari rumah tangga (80% merupakan angka asumsi tertinggi). Dikalkulasi, 800 ton dibagi 1559 RW sama dengan 513,15. Artinya, secara rata-rata per RW memproduksi sampah setiap hari sebanyak 513,15 kg. Secara logika agar sampah tidak sempat muncul ke permukaan, maka sampah tersebut mesti sudah diurai ditingkat bawah (grassroot). Sangat mungkin apabila ditiap RW di Kota Bandung memiliki alat pengurai sampah biodigester, sehingga pemerintah Kota Bandung dalam hal ini PD. Kebersihan tidak perlu repot-repot mencari lahan sebagai korban tempat pembuangan sampah. Bahkan bila memang harus 0% sampah kota, sesuai asumsi tentang penyumbang sampah di atas, di setiap lokasi penyumbang sampah dibangun satu unit biodigester. Hal tersebut bisa diatur melalui perda, bahwa setiap kantor baik pemerintah maupun swasta, industri-industri, sekolah-sekolah, rumah sakit, pasar-pasar, mesti dilengkapi dengan satu unit pengolah sampah teknologi biodigester dengan ukuran kapasitas tertentu sesuai kebutuhan.

Berkaitan dengan persoalan anggaran, penulis pun membuat hitung-hitungan angka sesuai data berita dari media cetak harian Pikiran Rakyat tersebut. Pemerintah Kota Bandung melalui PD. Kebersihan mengeluarkan anggaran sebesar 60 Miliar lebih pertahun. Jika kita kalkulasikan, andai satu unit pengolah sampah biodigester dibangun dengan dana rata-rata sebesar Rp. 25 juta, maka 60 Miliar dibagi 25 juta sama dengan 2400. Berarti dengan total anggaran setahun saja yang sebesar Rp. 60 Miliar dapat dibangun unit pengolah sampah teknologi biodigester sebanyak 2400 unit. Sementara jumlah wilayah RW Kota Bandung hanya 1559 wilayah.

Anggaran pemerintah kota khusus masalah kebersihan sebesar Rp. 60 Miliar lebih pertahun, jika dialokasikan dengan asumsi untuk setiap RW se-Kota Bandung berarti hanya menghabiskan anggaran sebesar + Rp. 39 Miliar. Anggaran sebesar itu hanya sekali dikeluarkan, karena setiap unit pengolah sampah dapat dioperasikan secara kontinyu untuk selama ada sampah. Artinya, masih terdapat sisa anggaran sebesar + Rp 21 Miliar. Bahkan untuk tahun berikutnya, anggaran pemerintah untuk kebersihan tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya.

Setiap unit pengolah sampah di wilayah RW memerlukan petugas pengelola sampah, diperkirakan sebanyak + 5 orang. Pertanyaan kemudian muncul, dari manakah para pengelola unit pengolah sampah tersebut mendapat gaji atau penghasilan (honorarium). Perlu diingat bahwa unit pengolah sampah biodigester tersebut dapat menghasilkan pupuk cair organik. Setiap satu unit diperkirakan dapat memproduksi pupuk sebanyak 5000 – 8000 liter perbulan. Ini berarti, Pemerintah Kota Bandung mampu memproduksi pupuk rata-rata dalam satu bulan sebanyak 10.133.500 liter. Pupuk sebanyak itu dapat dijadikan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung, karena pupuk tersebut dapat dijadikan sebagai komoditas ekonomi daerah. Maka pendapatan asli daerah dari sektor riil penjualan pupuk cair organik sebesar Rp. 152 Miliar perbulan dengan harga jual pupuk sebesar Rp. 15.000/liter.

Selain itu, sampah an orgaik berjenis plastik dapat diolah dengan cara dirajang menjadi bijih plastik. Sampah asal plastik diolah kembali menjadi plastik. Proses daur ulang sampah plastik menjadi handycraft, dapat berarti asalnya sampah kembali menjadi sampah. Suatu logika yang amat sederhana. Setiap unit pengolah sampah diasumsikan dapat menghasilkan sedikitnya 100 kg bijih plastik dalam satu bulan. Artinya, Pemerintah Kota Bandung mampu menjual bijih plastik ke pabrik plastik dalam partai besar sebanyak 155,9 ton perbulan. Angka tersebut diperoleh melalui hasil kali 100 kg x jumlah RW se-Kota Bandung. Jika harga jual bijih plastik dirata-ratakan sebesar Rp. 5000/kg, maka PAD Kota Bandung dari sektor sampah plastik sebesar Rp. 775 Juta/periode satu bulan. Jumlah total PAD Kota Bandung dari sektor pengelolaan sampah sebesar Rp. 152,775 Miliar/bulan. Suatu angka yang fantastis, karena berasal dari sesuatu yang tidak berguna bahkan dianggap hina. Sampah yang awalnya bermasalah tapi kemudian mendatangkan berkah.

Satu hal penting sebagai langkah awal pelaksanaan program tersebut adalah proses sosialisasi program kepada seluruh wilayah RW melalui kelurahan-kelurahan yang hanya berjumlah 155 kelurahan. Jika proses sosialisasi program dalam satu hari kerja dapat dijangkau sebanyak 2 kelurahan, maka dalam jangka waktu kurang dari 4 bulan, proses sosialisasi tentang pengolahan sampah dapat dituntaskan. Andaikan, dalam satu bulan dapat dibangun secara marathon sebanyak 10 titik, maka dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun niscaya Kota Bandung akan menjadi percontohan kota lingkungan di Indonesia bahkan dunia.

Sebagai penutup dalam bagian ini penulis sampaikan : Semua masalah berpulang kepada kita sendiri, adakah kemauan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tidak ada masalah tanpa penyelesaian, sebab yang menjadi masalah adalah kemauan itu sendiri. Untuk menjadi maju harus berpikir maju. Kota Bandung menjadi kota termaju di dunia, karena warganya berpikiran maju. Mari kita berpikir ulang tentang lingkungan, karena memang kita memerlukan lingkungan.